Bidang Pendidikan Urgen Dirombak Dan Diperbaiki
Saya barusan bikin iklan lowongan kerja di Facebook.
Saya sudah tulis ada lowongan kerja untuk bagian Produksi syaratnya ini dan itu. Dan bagian admin syaratnya ini itu.
Tapi ada beberapa pelamar yang WA saya masih bertanya ada bagian apa ya? Syaratnya apa saja ya?
Lalu, sudah pula saya cantumkan bahwa bagi pelamar yang serius ingin melamar kerja silakan hubungi WA 08xxxxxxxx, saya tidak melayani pertanyaan di Facebook.
Tapi, tetap saja ada beberapa orang yang komen bertanya ini itu di Facebook.
Sebagian besar para pelamar itu sungguh tidak punya budaya baca. Tidak paham cara membaca.
Payah banget mutu sebagian anak-anak sekarang. Kasihan anaknya, kasihan pula bapaknya yang sudah menghabiskan banyak biaya untuk menyekolahkan mereka selama bertahun-tahun.
Saya pernah punya pengalaman merekrut karyawan sejak 2008. Sebagian besar lulusan sekolah menengah yang melamar mutunya payah.
Pendidikan kita payah. Terutama sekolah-sekolah yang tak punya nama dan sekolah-sekolah yang berada di kota-kota kecil dan pedesaan.
Di Jakarta pun banyak terdapat sekolah yang asal-asal.
Seharusnya lulusan SMP harus mampu mengerjakan soal-soal hitungan dasar.
Saya pernah punya beberapa karyawan baik yang lulus sekolah menengah di Jakarta maupun berasal dari kota kecil dan desa. Mereka punya ijazah SMA atau SMEA bahkan ada yang D3, tetapi mereka tak bisa mengerjakan hitungan soal yang tingkat SMP.
Kasihan ya generasi muda kita.
Tahun 1987 saya pernah mengajar di sebuah SMP swasta di kota Medan. Saya mengajar bidang studi Bahasa Indonesia dan Kesusastraan. Saya menggantikan gurunya yang cuti hamil.
Saya periksa buku catatan para murid.
Catatan yang dibuat mereka banyak yang salah tentang pelajaran Ejaan Yang Disempurnakan, yang tidak sesuai EYD.
Entah karena gurunya yang salah mengajarkan atau siswa yang salah mencatat.
Waktu masih kuliah ada kawan yang di fakultas Akuntansi sedang menyusun skripsi. Dia tahu saya suka menulis artikel di koran lokal kota Medan . Diapun meminta tolong saya membantu mengoreksi naskah skripsinya. Saya baca skripsinya
memang banyak yang salah. Penggunaan huruf besar, huruf kecil, awalan, akhiran, masih tak benar.
Sekarang coba kita lihat papan nama para dokter yang dipampang di pinggiran jalan maupun di rumah sakit. Sebagian tak mengerti cara menuliskan gelar dokter yang benar.
Gelar dokter yang benar itu ditulis dengan singkatan “dr” huruf “d” dan “r”-nya huruf kecil.
Tetapi, sebagian ditulis seperti ini:
“Dr.” dengan “D” huruf besar. Ini salah. Sebab jika ditulis dengan huruf “D” besar maka “Dr.” itu artinya “doktor” atau gelas Sarjana S3. Bukan “dokter”.
Intinya, mutu SDM kita buruk. Guru yang mengajar juga kerapkali tidak menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dulu kan guru dicomot dari lulusan SMA, Sarjana S1, yang belum tentu menguasai bidangnya. Misalnya seorang sarjana hukum diminta jadi guru bahasa Indonesia. Dan seringkali tidak tahu cara-cara mengajar yang baik dan benar.
Baru belakangan dipersyaratkan guru harus dari lulusan IKIP. Lulusan IKIP pun acapkali memble.
Dulu saat masih kerja, saya pernah meng-interview lulusan UGM jurusan Sejarah yang ingin lamar jadi marketing. Menulis CV pun amburadul.
Jadi sesungguhnya, pondasi pendidikan dasar kita payah. Utamanya, para siswa yang lulus sekolah menengah tidak siap kerja. Bahkan lulusan perguruan tinggi pun tidak siap kerja. Tidak siap terjun ke masyarakat.
Anak-anak seharusnya memiliki dua sumber pendidikan, yakni pendidikan dari keluarga (Bapak/Ibu) dan Sekolah (Guru).
Paling utama Dan penting ialah pendidikan dari keluarga. Ini yang tidak diperoleh anak-anak kita. Ditambah lagi dengan sedikit yang bisa diperoleh dari sekolah. Apalagi sekolah cuma melakukan “pengajaran” bukan “pendidikan”.
Sehingga jangan heran apabila kita melihat saat pulang sekolah para siswa suka tawuran di jalanan.
Dan, sebagian besar orangtua, Bapak/Ibu, memang tidak lulus SD atau SMP. Lalu, bagaimana para orangtua itu bisa mengajari dan mendidik anak-anaknya?
Para Bapak dan Ibu sudah sibuk bekerja di sawah, di pabrik, mana ada waktu lagi memperhatikan anak-anaknya?
Para Bapak/Ibu sudah disibukkan mencari nafkah, bagaimana pula bisa mengurus anak-anaknya? Para Bapak/ Ibu sudah dipusingkan setiap hari mengurus kepentingan perut, mana bisa lagi memikir untuk mengurus kepentingan otak dan akhlak?
Sementara itu, pemerintah tidak mampu menyediakan guru-guru dan sekolah-sekolah yang baik dan bermutu. Kalaupun ada sekolah yang bermutu tentu dibutuhkan biaya besar untuk menyekolahkan anak.