Ada Uang Ada Barang
Sejak masih SMA aku suka menulis cerpen dan puisi di koran-koran.
Saat masih kuliah dan saat sudah bekerja aku acapkali suka menulis di surat pembaca di koran Suara Pembaruan dan kompas. Serta sesekali menulis artikel sosial budaya di koran lokal kota Medan, Harian Analisa. Aku menulis tentang pentingnya pendidikan humaniora bagi manusia agar tidak semakin banyak lahir manusia-manusia serigala. Aku pun tulis tentang seorang tukang patri panci bocor yang setiap hari keliling kampung. Punya anak tiga. Sehari bisa dapat order patri panci dari 2-3 orang. Hanya memperoleh seribu dua ribu rupiah. Bagaimana bisa hidup sejahtera?
Tahun 1988 aku kerja di depo container di Cilincing, Jakarta Utara. Aku ngobrol dengan para kuli pacul. Gaji perhari Rp 7.000,-. Mereka dari Cirebon. Tinggal di kontrakan sekamar 5 orang. Bagaimana bisa sejahterakan anak istrinya di kampung?
Padahal bangsa ini sudah merdeka 40 tahunan.
Di kemudian hari aku ikut gabung pada organisasi sosial kemanusiaan dan sosial politik. Ikut dukung Ahok di pilkada Jakarta. Kemudian dukung Jokowi di pilpres 2019. Aku amati sepak terjang para relawan dan para pemimpin negara, para politikus dan para elite politik. Aku juga amati para mantan pejabat dan petinggi negara. Aku pun kemudian bersedih hati. Air mataku hampir meloncat keluar.
Bibirku sedikit bergetar. Aku bergumam pelan. Berbisik pada diriku sendiri : “Pantaslah bangsa dan negara ini tidak maju-maju. Karena sedikit orang yang mempunyai kejujuran, keberanian, dan kenekadan untuk bangkit melawan korupsi dan manipulasi. Sedikit orang yang berani melawan para pelanggar UU dan Hukum terutama pelanggarnya adalah pembesar, petinggi atau pemilik modal besar.
Rupanya, di negeri ini, banyak manusia takut pada uang. Ya, uang. Mereka gentar ketika tahu lawannya adalah orang kuat yang memiliki banyak uang. Mereka takut melawan konglomerat yang melanggar UU dan hukum, misalnya.
Bahkan ada kelompok-kelompok atau pihak-pihak tertentu yang bersedia bikin demo-demo. Bahkan demo berjilid-jilid karena dikasih uang sama sang bohir.
Sebagian orang sudah kehilangan hati nurani. Sebagian orang sudah tak punya integritas. Nasionalisme dan patriotisme terbenam tertimbun uang. Uang!
Pejabat suka melacurkan jabatan. Pengusahanya suka membeli tanda tangan para pejabat. Rakyat pun tetap melarat. Semua itu karena uang!
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”.
Agaknya bangsa tercinta ini memang harus belajar dari bangsa Tiongkok. Bangsa Tiongkok dulu sangat miskin. Tetapi, bangsa Tiongkok memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka, seluruh anak bangsa, semua elemen bangsa, bahu-membahu bekerja keras membangun negaranya. Tanpa mendapatkan gaji besar. Mereka tak bicara uang. Tanpa uang pun mereka siap sedia bekerja keras demi membangun negaranya. Mereka bergotong-royong. Mereka bekerja demi untuk bangsa dan negara. Sementara kehidupan pribadi dan keluarganya sangat sederhana. Seorang kawanku yang pengusaha sering berkunjung ke Tiongkok. Kawan itu bercerita seorang dokter yang bekerja dan sebagai kepala di rumah sakit hanya bisa bersepeda. Ketika sang dokter tersebut diajak makan di restoran, dia minta dibungkuskan sisa-sisa makanan yang tidak habis untuk dibawa pulang. Mereka sangat hemat dan menghargai makanan. Mereka hidup sangat sederhana demi membangun dan memajukan bangsa dan negara. Mereka berkorban untuk membangun negerinya.
Di Tiongkok sana koruptor dihukum mati. Disini koruptor dipiara.
Padahal pandangan hidup bangsa ini adalah Pancasila. Padahal Pancasila adalah ideologi negara tercinta ini. Padahal nilai-nilai Pancasila itu ya gotong-royong. Padahal sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tapi, bangsa ini malah harus belajar sampai ke negeri Cina yang komunis yang tak mempunyai nilai-nilai luhur Pancasila.
Di negeriku tercinta, tidak ada uang tidak akan bergerak. Tidak ada uang tidak ada yang mau bergerak dan bekerja. Seorang wakil rakyat pernah bilang korupsi itu oli pelumas pembangunan. Artinya, tanpa uang mesin pembangunan macet.
Pak guru Umar Bakri sang pahlawan tanpa jasa tidak dihormati tidak dipuja-puji oleh masyarakat karena cuma bersepeda. Tetapi, seorang koruptor dipuja-puji karena banyak uang meskipun uangnya hasil merampok. Hebatnya lagi adalah seorang mantan koruptor bisa diangkat jadi pejabat negara. Sementara, seorang guru tua pak Umar Bakri, di masa pensiunnya hanya bisa menghabiskan sisa-sisa hidupnya di gubuk derita.
Mengapa banyak mafia di negeri ini? Karena uang melebihi Tuhan. Manusia telah mengkultus-individukan uang. Makanya, ada mafia tanah, mafia hukum, mafia peradilan, mafia narkoba.
Ada uang ada barang. Kata bandar narkoba.
Bayangkan, tanah yang semestinya milik rakyat, sekonyong-konyong, bagai disulap oleh David Copperfield, sertifikatnya terbit sudah menjadi milik pihak lain. Rakyat kehilangan hak atas tanah miliknya. Rakyat semakin melarat. Rakyat semakin sekarat.
Negara kerapkali datang telat.
Negara bahkan seringkali tidak hadir.
Akhirnya, aku hanya bisa berharap seluruh pemimpin negara mulai dari presiden hingga lurah dan kepala desa bersama-sama seluruh wakil rakyat yang diberi gaji besar dan fasilitas mau sungguh-sungguh bekerja dan memakai hati nurani dalam membangun negeri. Agar bangsa tercinta ini segera menjadi bangsa yang sungguh bermartabat dan terhormat di mata dunia maupun di akhirat.
Para pemimpin negara, para petinggi dan pejabat jangan cuma duduk di tahta hanya untuk mencari harta dan menumpuk pundi-pundi kekayaan pribadi.
Mari kita berdiri tegak sempurna untuk menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” supaya rasa kebangsaan dalam diri kita sebagai anak bangsa semakin menebal dan kental….
Salam Pancasila.
Andy Tirta
Ketua Umum Barisan Pencinta Pancasila (SANTALA)