STAGFLASI: Fenomena Yang Kontradiktif
Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.
Stagflasi adalah istilah yang menggambarkan situasi di mana perekonomian mengalami pertumbuhan yang stagnan atau melambat, tingkat pengangguran yang tinggi, dan inflasi yang meningkat secara bersamaan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Iain MacLeod pada tahun 1965 untuk menggambarkan kondisi ekonomi Inggris saat itu yang mengalami stagnasi dan inflasi secara simultan. Dalam teori ekonomi, stagflasi dianggap sebagai fenomena yang kontradiktif karena biasanya inflasi terjadi saat perekonomian tumbuh dan permintaan meningkat, sementara stagnasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan inflasi yang rendah atau deflasi. Namun, stagflasi dapat terjadi ketika ada gangguan signifikan pada sisi penawaran, seperti kenaikan tajam harga komoditas penting atau kebijakan moneter yang tidak tepat.
Kita tahu bahwa pada awal tahun 2025, Indonesia mengalami fenomena ekonomi yang menarik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2025 turun menjadi 0,76% year-on-year (yoy), terendah sejak Januari 2000. Penurunan inflasi ini sebagian besar disebabkan oleh diskon tarif listrik sebesar 50% dan penurunan tarif angkutan udara. Pada Februari 2025, Indonesia bahkan mengalami deflasi sebesar 0,09% yoy, pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade. Deflasi ini terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah yang memberikan diskon besar pada tagihan listrik untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Meskipun inflasi menurun, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Pada kuartal IV-2023, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% (yoy), sedikit lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,31%. Perlambatan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpastian global dan penurunan permintaan domestik.
Dalam konteks ini, meskipun inflasi menurun, harga beberapa kebutuhan pokok justru mengalami kenaikan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori stagflasi, di mana kenaikan harga-harga tertentu terjadi meskipun perekonomian secara keseluruhan mengalami perlambatan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dapat disebabkan oleh gangguan pasokan, seperti bencana alam atau gangguan distribusi, yang mengurangi ketersediaan barang di pasar. Di sisi lain, perlambatan ekonomi dapat mengurangi daya beli masyarakat, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Kombinasi dari penurunan pasokan dan permintaan yang lemah dapat menciptakan situasi di mana harga-harga tertentu naik meskipun inflasi umum menurun.
Dampak stagflasi terhadap perekonomian sangat signifikan. Pertama, kenaikan harga kebutuhan pokok dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Hal ini dapat meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Kedua, stagnasi pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan peningkatan pengangguran, karena perusahaan mengurangi produksi dan menunda investasi. Ketiga, kombinasi inflasi dan pengangguran yang tinggi dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan pelaku usaha, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi ekonomi.
Untuk mengatasi stagflasi, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi. Dari sisi moneter, bank sentral perlu menjaga stabilitas harga tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, Bank Indonesia dapat mempertahankan suku bunga acuan pada tingkat yang mendukung pertumbuhan, sambil memantau inflasi dengan ketat. Dari sisi fiskal, pemerintah dapat meningkatkan belanja publik yang produktif, seperti infrastruktur dan pendidikan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selain itu, kebijakan yang mendukung sektor pertanian dan distribusi pangan dapat membantu menstabilkan harga kebutuhan pokok. Penting juga untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal. Seperti yang disarankan oleh Kementerian Keuangan, diperlukan kebijakan yang mampu menyelaraskan antara pengendalian inflasi dengan mendorong investasi agar dapat terbebas dari jerat stagflasi.
Selain itu, International Monetary Fund (IMF) merekomendasikan penguatan kerja sama multilateral untuk akselerasi dan pemerataan vaksinasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim dan tensi geopolitik yang memanas. Dalam jangka panjang, reformasi struktural diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian. Ini termasuk perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan sektor-sektor strategis. Dengan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi, Indonesia dapat mengatasi tantangan stagflasi dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (***)
Semoga Berguna.
*Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar & Dewan Pembina Barisan Pencinta Pancasila (SANTALA).