image_750x_62d80390ae4fb
Logo Perkumpulan Barisan Pencinta Pancasila (SANTALA)

Ditulis oleh: Andy Tirta*

Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Sudah 77 tahun.
Namun, carut-marut dan compang-camping masih terjadi di sana-sini. Amburadul.

Saya tak usah tuliskan panjang lebar disini. Semua tahu dimana kecarutmarutan dan kecompang- campingan itu terjadi. Di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, keamanan.

Gampang saja untuk mengetahui tentang pranata sebuah bangsa dan negara. Tak perlu repot melacak kepustakaan. Cukup perhatikan bagaimana warga masyarakatnya berperilaku dalam berlalu lintas di jalan raya. Cukup mengamati kondisi dan situasi lalu lintas jalan yang terjadi sehari-hari. Apakah macet? Tidak tertib? Semrawut? Parkir sembarangan? Tanpa helm? Melawan arah? Melanggar rambu-rambu lalulintas? Tak ada seorang petugas pun yang menertibkan?
Dari situ sudah cukup menilai kondisi sebuah bangsa dan negara, bukan?

Betapa masih banyak rakyat yang hidup di bawah kemiskinan. Betapa masih banyak warga masyarakat yang hidup di rumah yang tak layak huni. Bahkan, di pinggiran ibukota negara Republik Indonesia, Cengkareng, Jakarta barat, masih ada rumah susun-rumah susun dan komplek perumahan yang tidak bisa menyediakan air bersih yang benar-benar layak pakai. 
Betapa masih banyak warna negara Indonesia yang tak punya akses pendidikan dan kesehatan.  Seolah-olah orang miskin tak boleh sekolah dan sakit. Betapa  banyak warga masyarakat yang tidak memahami pentingnya kebersihan dan kesehatan. Bagaimana bisa memahami masalah kebersihan dan kesehatan karena tak punya  uang buat sewa rumah yang layak huni. Tak punya uang buat beli makanan dan minuman yang bersih dan sehat. 

Negara miskin. Tetapi, pencetus kemiskinan seperti korupsi tidak diberantas secara sungguh-sungguh dan tuntas. Korupsi dan manipulasi terjadi dimana-mana. Bahkan sejak berpuluh-puluh tahun yang silam. Tindak-tindakan korupsi seperti berlari. Sementara tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi masih merangkak dan melangkah santai di pantai.

Indonesia adalah negara hukum. Ironisnya, sang Hukum lemah tak berdaya. Banyak kasus  tidak bisa tersentuh hukum. Karena hukum tidak dijadikan Panglima. 

Mafia-mafia pun hidup makmur. Mafia narkoba, mafia tanah, mafia hukum. Mafia…
Rakyat kecilpun hidup melarat. 

Barangkali karena hukum belum dijadikan panglima, maka Presiden Jokowi harus mengangkat  mantan Panglima TNI, Marsekal TNI (Purn.) Dr. (H.C) Hadi Tjahjanto S.I.P. sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) demi untuk memberantas mafia tanah yang telah berpuluh-puluh tahun merajalela merugikan masyarakat serta sulit diberantas.

Indonesia adalah negara hukum. Sumber hukumnya adalah Pancasila. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila ialah pandangan hidup bangsa. Tetapi, nilai-nilai Pancasila tidak diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intoleransi dan radikalisme masih terus terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budayawan Mochtar Lubis tahun 1977 pernah bilang bahwa ciri-ciri sifat manusia Indonesia antara lain adalah munafik atau hipokrit, enggan dan segan bertanggung jawab, dan berkarakter lemah.

Agaknya pernyataan Mochtar Lubis itu benar adanya. Kita memang bangsa yang munafik. Saya ambil contoh: negara melarang judi dilegalkan. Tetapi, sementara itu judi gelap bisa hidup terus. Bukankah lebih baik judi dilegalkan dan uang pajak judi dimasukkan ke kas negara untuk membangun negara?
Di pelosok-pelosok daerah banyak masyarakat masih hidup miskin. Butuh dana besar untuk membangun jembatan, jalan, gedung sekolah, puskesmas,  rumah sakit, dll.
Akibat judi dilarang, orang-orang kaya mencari hiburan dengan berjudi di luar negeri. Uang dibawa keluar. 
Contoh lain: kita hidup di negara yang berideologi Pancasila. Namun, ketika ada sekelompok orang yang menentang Pancasila, dan bertindak intoleransi, seolah-olah negara membiarkan itu terjadi.

Pepatah “Ikan busuk mulai dari kepala” sungguh harus diterapkan dalam hidup berbangsa dan bernegara. 
Oleh karena itu, rakyat harus jeli dan teliti dalam memilih pemimpin apakah itu memilih Presiden, Gubernur, Bupati, RT, RW. Jangan salah memilih. Salah memilih pemimpin akan menyebabkan pemimpin itu tidak akan amanah. Pemimpin itu kelak tidak akan mampu memimpin, membangun, dan memajukan bangsa dan negara tercinta ini. 

Tahun 2024 sudah dekat. Dua tahun lagi. Rakyat harus paham bagaimana memilih pemimpin yang bagus, berkarakter, tidak munafik, berjiwa Pancasilais dan negarawan.

Memilih presiden 2024 minimal harus yang sekualitas Presiden Joko Widodo . Tidak boleh memilih presiden 2024 yang levelnya di bawah Jokowi. Sehingga, nanti presiden terpilih akan mampu melanjutkan pekerjaan-pekerjaan Jokowi yang belum terselesaikan.

Harapan saya, 2024, akan terpilih seorang presiden yang berkarakter, tidak munafik, Pancasilais, negarawan, antikorupsi, dan  merakyat dan sungguh-sungguh mencintai rakyatnya. Sehingga, dia mampu membangun dan memajukan bangsa dan negaranya. Bukan melulu membangun kerajaan bisnis pribadinya atau hanya mengutamakan kepentingan partainya.

Pemimpin 2024 haruslah seorang yang mampu memimpin bangsa dan negara. Mampu membangun dan memakmurkan bangsanya. Mampu memajukan negaranya. Mampu membuat Negaranya dihormati dan disegani baik oleh bangsa asing maupun bangsanya sendiri. 

Yang pasti pemimpin 2024 harus mampu menjadikan negara Republik Indonesia yang TIDAK BOLEH KALAH dari siapapun. Negara memang tidak boleh kalah. Terutama tak boleh  kalah dari kelompok intoleran, para koruptor,  dan para mafia tanah, mafia hukum, mafia minyak goreng, mafia sawit, dan mafia-mafia lainnya.

Semoga.

 

Andy Tirta*
Ketua Umum Barisan Pencinta Pancasila (SANTALA)

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0
Santala
Bio Santala 123

    You may also like

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in:Nasional